Agresi Militer Belanda 1
A.
Pengertian Agresi Militer I
"Operatie Product (bahasa
Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi
Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap
Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.
Operasi militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda
dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati.
Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan
pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
B.
Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I diawali oleh
perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran terhadap
ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan
Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk.
Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas
dari Belanda.
C.
Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer I
Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi
militer I yaitu sebagai berikut:
1.
Tujuan
politik Mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik
Indonesia.
2.
Tujuan ekonomi. Merebut pusat-pusat penghasil
makanan dan bahan ekspor.
3.
Tujuan
militer Menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).[1]
D.
Kronologis Terjadinya Agresi Militer I
Sesudah penandatanganan Persetujuan
Linggarjati, Belanda berusaha keras memaksakan interpretasi mereka sendiri dan
berjalan sendiri untuk membentuk negara-negara bagian yang akan menjadi bagian
dari negara Indonesia Serikat, sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini diawali
dengan konferensi yang diselenggarakannya di Malino, Sulawesi Selatan, dan
kemudian di Denpasar, Bali. Di sana mereka berhasil membentuk negara boneka
Indonesia Timur dengan dibantu oleh orang-orang yang pro Belanda seperti
Sukawati dan Anak Agung Gde Agung. Anak Agung Gde memang sejak awal sudah
memusuhi pemuda-pemuda pro Republik di daerahnya, serta mengejar-ngejar dan
menangkapinya. Memang tujuan utama Belanda penandatanganan Persetujuan Linggarjati
ialah menjadikan negara Republik Indonesia yang sudah mendapatkan pengakuan de
facto dan juga de jure oleh beberapa negara, kembali menjadi satu negara bagian
saja seperti juga negara-negara boneka yang didirikannya, yang akan
diikutsertakan dalam pembentukan suatu negara Indonesia Serikat. Langkah
Belanda selanjutnya ialah memajukan bermacam-macam tuntutan yang pada dasarnya
hendak menghilangkan sifat negara berdaulat Republik dan menjadikannya hanya
negara bagian seperti negara boneka yang diciptakannya di Denpasar. Yang
menjadi sasaran uatamanya ialah menghapus TNI dan perwakilan-perwakilan
Republik di luar negeri, karena keduanya merupakan atribut negara berdaulat.
Semua tuntutan Belanda ditolak. Sementara itu keadaan keuangan Belanda sudah gawat,
dan kalau masalah Indonesia tidak cepat diselesaikan maka besar kemungkinan
Belanda akan bangkrut. Agresi militer pertama dilakukan Belanda berlatar dua
pokok di atas, yaitu melenyapkan Republik Indonesia sebagai negara merdeka
dengan menghilangkan semua atribut kemerdekaannya, dan keadaan keuangan Belanda
yang sangat gawat. Dalam serangan Belanda yang pertama itu mereka bermaksud
hendak menduduki Yogyakarta yang telah menjadi ibu kota perjuangan Republik
Indonesia, dan menduduki daerah-daerah yang penting bagi perekonomian Belanda,
yaitu daerah-daerah perkebunan, ladang minyak dan batu baik di Sumatera maupun
di Jawa. Usaha ini untuk sebagian berhasil; mereka berhasil menduduki
daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat
dan Jawa Timur. Dari hasil penjualan produksi perkebunan-perkebunan yang masih
terkumpul, mereka mengharapkan mendapatkan uang sejumlah US$ 300 juta,
sedangkan biaya agresi militer diperhitungkan akan memakan US$ 200 juta, jadi
masih ada ”untung” US$ 100 juta.
E.
Berakhirnya Agresi Militer Belanda I
Republik Indonesia secara resmi
mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut
dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan
Linggarjati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan
reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi
menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia,
pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke
dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27
tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata
dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui
eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak
tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan
bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal
1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi
No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949,
Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan
Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada
tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima
resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk
melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk
suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.
Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia
(Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga
Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih
oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai
pihak yang netral.[2] Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili
oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Selanjutnya PBB membentuk Komisi PBB
yang terdiri atas tiga negara: satu dipilih oleh Indonesia, satu oleh Belanda
dan yang satu lagi dipilih bersama. Komisi Tiga Negara ini terdiri atas Amreika
Serikat, Australia dan Belgia. Sjahrir memilih Australia, dan bukan India,
karena India sudah dianggap oleh dunia sebagai pro Indonesia, sedangkan
Australia adalah negara bangsa kulit putih, yang dianggap lebih obyektif
pendiriannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perkiraan
Belanda dengan mengadakan agresi militernya yang pertama meleset sama sekali;
karena tanpa diperhitungkan sejak semula, bahwa Dewan Keamanan PBB akan
bertindak atas usul India dan Australia.
India dan Australia sangat aktif
mendukung Republik di dalam PBB, di mana Uni Soviet juga memberika dukungannta.
Akan tetapi, peranan yang paling penting akhirnya dimainkan oleh Amerika
Serikat. Mereka yang menentukan kebijakan Belanda, bahkan yang lebih progresif
di antara mereka, merasa yakin bahwa sejarah dan pikiran sehat memberi mereka
hak untuk menetukan perkembangan Indonesia, tetapi hak ini hanya dapat
dijalankan dengan menghancurkan Republik terdahulu. Sekutu-sekutu utama negeri
Belanda terutama Inggris, Australia, dan Amerika (negara yang paling diandalkan
Belanda untuk memberi bantuan pembangunan kembali di masa sesudah perang) tidak
mengakui hak semacam itu kecuali jika rakyat Indonesia mengakuinya, yang jelas
tidak demikian apabila pihak Belanda harus menyandarkan diri pada penaklukan
militer. Mereka mulai mendesak negeri Belanda supaya mengambil sikap yang tidak
begitu kaku, dan PBB menjadi forum umum untuk memeriksa tindakan-tindakan
Belanda. Untuk pertama kali sejak PBB didirikan pada tahun 1945, badan ini
mengambil tindakan mengentikan penyerangan militer di dunia dan memaksa agresor
agar menghentikan serangannya. Belanda yang menginginkan supaya masalah
Indonesia dianggap sebagai suatu persoalan dalam negeri antara Belanda dan
jajahannya, telah gagal, dan masalah Indonesia-Belanda menjadi menjadi masalah
internasional. Kedudukan Republik Indonesia menjadi sejajar dengan kedudukan
negara Belanda dalam pandangan dunia umumnya.
F.
Dampak Agresi Militer I bagi Bangsa Indonesia
Dampak yang diperoleh bangsa Indonesia
akibat adanya agresi militer I oleh pihak Belanda yaitu sempat dikuasainya
beberapa daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur,
Palembang, Jawa Barat dan Jawa Timur. Meski PBB telah turut membantu mengatasi
agresi militer yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia dengan diadakan
penghentian tembak menembak, tidak berarti bahwa tindakan militer Belanda
langsung terhenti. Mereka terus-menerus mengadakan gerakan pembersihan untuk
mengamankan dareah-dareah yang telah didudukinya. Dalam gerakan pembersihan ini
sering pula terjadi tindakan kejam oleh pasukan Belanda, terutama di
dareah-daerah yang sudah mereka duduki namun tidak dapat dikuasai, umpamanya
dareah sekitar Krawang-Bekasi Di sekitar Bekasi beroperasi pasukan kita yang
dipimpin oleh Lukas Kustrayo.
Setelah pembentukan BKR ia langsung
bergabung, dan pasukan yang dibentuknya beroperasi di sekitar Bekasi. Setelah
Belanda meyerang pada bulan Juli 1947 Lukas tetap beroperasi di sana dan tetap
menganggu kehadiran Belanda di daerah itu, juga setelah diadakan pengehentian
tembak- menembak. Kegiatan Lukas sangat menjengkelkan Belanda, sehingga Lukas
diberi julukan ”Tijger van West Jawa” (Harimau Jawa Barat). Belanda
terus-menerus berusaha mengejar Lukas dan pasukannya, tetapi selalu tidak
berhasil. Setelah mereka mengetahui bahwa Lukas bermarkas di desa Rawagede,
mereka menyerbu desa itu pada tanggal 9 Desember 1947, dan lagi-lagi Lukas dan
pasukannya lolos. dalam kemarahan dan frustasi karena usaha mereka tidak
berhasil, pasukan Belanda menembaki rakyat desa Rawagede secara membabi buta
dan membunuh 491 orang dewasa dan anak-anak. Kekejaman Belanda ini tidak pernah
kita ungkapkan ke dunia luar, karena pada waktu itu memang kita tidak mempunyai
aparat untuk melakukanya. Kekejaman Belanda lain yang dapat disebut adalah
pembantaian rakyat Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1948 oleh pasukan Kapten
Wasterling, yang juga tidak pernah dihukum. Juga peristiwa kapten api maut di
Jawa Timur, ketika prajurit-prajurit Republik Indonesia yang tertawan oleh
Belanda diamsukkan dalam gerbong kereta api yang kemudian ditutup rapat tanpa
ventilasi, sehingga semua tawanan mati lemas karena kepanasan dan kehabisan
udara.
G. Perjuangan Bangsa Indonesia terhadap
Agresi Militer Belanda 1
a.
Keampuhan Strategi Diplomasi
Harus diakui, TNI mengalami pukulan berat saat agresi militer belanda I itu. Akan tetapi, kekalahan itu tidak menyurutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan indonesia
Ketika itulah perjuangan diplomasi memegang peranan penting. Tanpa kenal lelah, para tokoh indonesia di luar negeri membela kepentingan indonesia. Mereka berusaha menunjukkan kepada dunia internasional bahwa indonesia layak dan mampu merdeka dan berdaulat.
Keberhasilan perjuangan diplomasi terbukti dari munculnya reaksi keras terhadap tindakan agresi militer belanda. India dan Australia mengajukan resolusi kepada dewan keamanan PBB.
Amerika Serikat menyerukan agar indonesia dan belanda menghentikan permusuhan Polandia dan uni soviet mendesak agar pasukan belanda ditarik dari wilayah RI. Ditengah reaksi dunia internasional, pada tanggal 3 Agustus 1947, belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan tembak-menembak.[4]
Harus diakui, TNI mengalami pukulan berat saat agresi militer belanda I itu. Akan tetapi, kekalahan itu tidak menyurutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan indonesia
Ketika itulah perjuangan diplomasi memegang peranan penting. Tanpa kenal lelah, para tokoh indonesia di luar negeri membela kepentingan indonesia. Mereka berusaha menunjukkan kepada dunia internasional bahwa indonesia layak dan mampu merdeka dan berdaulat.
Keberhasilan perjuangan diplomasi terbukti dari munculnya reaksi keras terhadap tindakan agresi militer belanda. India dan Australia mengajukan resolusi kepada dewan keamanan PBB.
Amerika Serikat menyerukan agar indonesia dan belanda menghentikan permusuhan Polandia dan uni soviet mendesak agar pasukan belanda ditarik dari wilayah RI. Ditengah reaksi dunia internasional, pada tanggal 3 Agustus 1947, belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan tembak-menembak.[4]
b.
Perundingan Renville
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk Commite of Good Offices. Komite itu kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN terdiri atas wakil australia, Richard Kiby, wakil belgia, Paul van Zeeland, dan wakil Amerika Serikat, Frank Graham. Terpilihnya Australia dalam KTN merupakan permintaan pihak Indonesia, sedangkan terpilihnya Belgia merupakan permintaan pihak Belanda. Kemudin Australia dan Belgia menentukan anggota KTN ketiga, yaitu Amerika Serikat.
Tugas Pokok KTN adalah mencari penyelesaian damai tehadap masalah perselisihan antara indonesia dan belanda. Untuk itu, KTN menawarkan perundingan kepada kedua negara. Amerika Serikat mengusulkan tempat pelaksanaan perundingan yang diluar wilayah pendudukan belanda maupun wilayah Republik Indonesia. Tempat yang dimaksud adalah sebuah kapal AS bernama Renville, yang sedang berlabuh di Tanjung Priok. Perundingan itu terkenal dengan sebutan Perundingan Renville.
Dalam perundingan itu Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi belanda dipimpin oleh Abdullah Wijoyoatmojo. Perundingan berlangsung alot karena baik indonesia maupun belanda cenderung berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Akhirnya, pada tanggal 17 Januari 1948, hasil perundingan Renville disepakati dan ditandatangani.
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk Commite of Good Offices. Komite itu kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN terdiri atas wakil australia, Richard Kiby, wakil belgia, Paul van Zeeland, dan wakil Amerika Serikat, Frank Graham. Terpilihnya Australia dalam KTN merupakan permintaan pihak Indonesia, sedangkan terpilihnya Belgia merupakan permintaan pihak Belanda. Kemudin Australia dan Belgia menentukan anggota KTN ketiga, yaitu Amerika Serikat.
Tugas Pokok KTN adalah mencari penyelesaian damai tehadap masalah perselisihan antara indonesia dan belanda. Untuk itu, KTN menawarkan perundingan kepada kedua negara. Amerika Serikat mengusulkan tempat pelaksanaan perundingan yang diluar wilayah pendudukan belanda maupun wilayah Republik Indonesia. Tempat yang dimaksud adalah sebuah kapal AS bernama Renville, yang sedang berlabuh di Tanjung Priok. Perundingan itu terkenal dengan sebutan Perundingan Renville.
Dalam perundingan itu Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi belanda dipimpin oleh Abdullah Wijoyoatmojo. Perundingan berlangsung alot karena baik indonesia maupun belanda cenderung berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Akhirnya, pada tanggal 17 Januari 1948, hasil perundingan Renville disepakati dan ditandatangani.
Hasil perundingan Renville yaitu:
- Penghentian tembak-menembak
- Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI
- Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
- Dalam Uni Indonesia-Belanda negara indonesia serikat akan sederajat dengan kerajaan belanda
Akibat perundingan Renville, wilayah Indonesia yang diakui menjadi semakin
sempit. Itulah sebabnya, hasil perundingan Renville mengundang reaksi keras
dari kalangan partai politik, hasil perundingan itu memperlihatkan kekalahan
perjuangan diplomasi.
0 comments:
Post a Comment