Thursday, May 7, 2015



PERTEMPURAN LIMA HARI DI SEMARANG


Pertempuran 5 hari di Semarang merupakan rangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia melawan tentara Jepang pada masa transisi. Pertempuran yang dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945, yang didahului dengan situasi memanas sebelumnya ini berakhir hingga pada tanggal 20 Oktober 1945.
Pertempuran ini dimulai dengan peristiwa tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa pada Pada 1 Maret 1942. Seminggu kemudian, tepatnya pada 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Mulai saat itu, Indonesia diduduki dan dijajah oleh tentara Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan dan Tokoh-tokohnya
Tiga tahun penjajahan berlangsung, pada Agustus 1945 tentara Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu paska dijatuhkannya bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia melalui Bung Karno dan Bung Hatta, memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlbat adalah sbb :
1.      dr. Kariadi dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Beliau juga merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
2.      Mr. Wongsonegoro Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
3.       Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang betrsama Mr. Wongsonegoro.
4.      Mayor Kido Pimpinan Batalion Kido Butai yang berpusat di Jatingaleh.
5.      drg. Soenarti istri dr. kariadi
6.       Kasman Singodimejo perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
7.      Jenderal Nakamura Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang

Perjuangan Pemuda Semarang
Berita Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda menggunakan taktik gerilya.

Sumber Air Minum Diracuni
Setelah pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.

Dr.Kariadi Terbunuh
Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang.
Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.Kejadian ini merupakan penyulut utama Perang Lima Hari di Semarang.

Kronologis Pertempuran
A.    Gerakan Kilat
Tidak lama setelah gugurnya Drs. Kariadi, masyarakat Semarang dikejutkan oleh serentetan tembakan yang terdengar dengan genjarnya dari arah Jln.Pandanaran. Selang beberapa menit kemudian suara tersebut berhenti dan suasana menjadi kondusif kembali. Barulah diketahui bahwa rentetan suara tembakan tersebut dilepaskan oleh anggota polisi istimewa yang sedang menjaga tahanan Jepang di bekas asrama Sekolah Pelayaran yang terletak sebelah kiri Jln.Pandanaran (sekarang di Jln Erlangga).
Menurut rencana, para tahanan Jepang akan dipindahkan tempatnya. Sebelum dipindahkan, polisi istimewa membuka pembicaraan dengan para pimpinan tahanan Jepang untuk berpidato dan menyuruh anak buahnya apel di lapangan. Sementara itu polisi istimewa menjaga ketat para tahanan dengan formasi melingkar.
Pemimpin tahana Jepang mulai berpidato dengan bahasa Jepang didepan anak buahnya. Dalam pidato tersebut ternyata pemimpin tahanan menyuarakan untuk menyerang para anggota polisi istimewa. Banyak dari mereka yang berteriak-beteriak “Bakero Indonesia” dan berusaha untuk mengambil besi-besi dan potongan kayu dari tempat tidur mereka. Bahkan ada juga yang membawa pistol yang sebelumnya berhasil diselundupkan oleh seorang tahanan Jepang.
            Suasana di tempat tersebut sangat kacau. Meskipun bersenjata, karena jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah tahanan Jepang. Polisi istimewa akhirnya terdesak. Para tahanan mencoba melarikan diri dari berbagai arah dengan mengunakan truk yang seyogyanya digunakan polisi istimewa untuk memindahkan para tahanan ke tempat lain. Namun para tahanan tidak mengenal betul kawasan Semarang, apalagi disaat malam hari.
Tidak lama setelah pemberontakan para tahanan Jepang sekitar jam 03.00 dini hari, Kido Butai telah mengawali gerakannya dan melakukan gerakan kilat untuk menguasai kota Semarang dengan tujuan apa yang mereka namakan “melindungi jiwa orang-orang Jepang. Kido Butai mulai melakukan pemberontakan disaat ia merasa keadaan sudah dalam titik puncakknya karena Kido Butai mendengar bahwa Mayor Jendral Nakamura ditawan oleh para pemuda di Magelang.
            Masyarakat Semarang bangkit serentak menghadapi pasukan Jepang yang sangat agresif pada waktu itu. Mereka sama sekali tidak merasa gentar menghadapi kekejaman para tentara Jepang anggota Kido dari Jatingaleh tersebut. Pada waktu itu, bagi mereka hanya ada satu semboyan “ lebih baik mati berkalang tanah dari pada kehilangan kemerdekaan tanah air.
B.     Penawanan Mr. Wongsonegoro
Karena kuatnya arus serbuan pasukan Jepang yang datang berikutnya, pertahanan para pemuda akhirnya dapat dipatahkan. Bebrapa dari mereka berhasil ditawan. Perlawanan terjadi di berbagai tempat antara lain di pasar Kagok, SirandaSesudah itu tawanan disiksa dengan kejam dan akhirnya dibunuh di dekat Taman Pahlawan.
Pada pagi hari itu juga, di depan rumah sakit Purusara terjadi pertempuran yang sengit. Rumah Sakit diberondong Jepang dengan senapan mesin, hingga seorang pegawai yakni Soedirman tertembak. Sementara itu, korban-korban yang datang dari berbagai tempat kian lama kian banyak, hingga bangsal bedah penuh sesak. Setelah mengepung Purusara, pasukan Jepang selanjutnya bergerak maju menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari. Selanjutnya, pasukan Jepang meneruskan gerakannya untuk membebaskan kembali gedung besar markas Kenpeital. Dari gedung besar, pasukan Jepang kemudian melancarkan tembakan-tembakan kearah gedung Lawang Sewu.
Gedung gubernuran dimana Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro pada waktu itu sedang berada juga telah diserang oleh pasukan Jepang. Bahkan gedung inilah yang sebenarnya menjadi sasaran utama dari gerakan Kido Butai pada tanggal 15 Oktober 1945 dengan maksud untuk menawan Mr. Wongsonegoro.
Pertahanan di gedung tersebut sangat kuat. Dengan serangan pasukan Kido yang paling nekad disertai serangan yang berani mati, gedung tersebut akhirnya baru dapat diduduki pada siang hari. Mr. Wongsonegoro kemudian ditawan di markas Kido Butai di Jatingaleh, bersama istri dan anak-anaknya tetapi di tempat yang terpisah.
Maksud penawanan Mr.Wongsonegoro itu tidak dapat dilepaskan dari penawanan Mayor Jendral Nakamura oleh para pemuda Magelang. Dengan menawan Gubernur Jawa Tengah, ia bermaksud ingin balas dendam. Seperti halnya daerah Semarang Selatan dan Semarang Barat, pada tanggal 15 Oktober 1945 daerah Semarang Timur dan Semarang Utara juga tidak luput dari serangan tentara Jepang.

C.    Jatuhnya Hotel Du Pavilion
Pada 16 Oktober 1945, Jepang menambah kekuatan tempurnya dengan mengikut sertakan orang-orang Jepang yang bukan tentara. Sukarelawan yang bergabung dengan misi Jepang itu sekitar 300. Disisi lain, pasukan-pasukan tempur rakyat Semarang pada hari itu juga telah datang pasukan-pasukan bantuan dari berbagai daerah. Dari daerah Kendal dan Weleri di sebelah barat, dari markas Demak, Kududs, Pati, Tayu dan Purwodadi di sebelah timur, dan dari daerah Ambarawa, Yogya, Magelang, Purwokerto dan Solo dari sebelah selatan.
Pada hari itu tujuan Jepang adalah menyerang kawasan Hotel Du Pavilion (sekarang hotel Dibya Putri), yang dijadikan markas pertahanan oleh para pemuda di bawah pimpinan Martadi. Di sekitar hotel itu, segera berkobar pertempuran yang sangat hebat. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh pasukan Jepang. Di samping Hotel Du Pavilion, pada hari itu pasukan Jepang berhasil pula menguasai Pasar Johar. Kantor Papak dan Kantor Telpon.

D.     Gencatan Senjata yang Tidak Bermakna
Perlawanan bangsa Indonesia melawan tentara Jepang yang sebelumnya dibantu oleh relawan dan pemuda yang didatangkan dari berbagai daerah sekitaran Semarang meskipun kalah juga membuahkan hasil yaitu tertangkapnya sukarelawan Jepang di berbagai daerah dimana terjadi pertempuran.
Menginfasi kemungkinan akibat yang timbul dari perbuatan yang telah mereka lakukan sendiri, pada waktu itu pihak Jepang benar-benar merasa sangat prihatin. Harapan pihak Jepang tertuju pada Mr. Wongsonegoro. Ialah yang dipandang dapat menyelamatkan ratusan orang relawan yang tertangkap.
Semenjak tangal 16 Oktober 1945 malam, mereka telah berusaha menghubungi Mr. Wongsonegoro yang pada waktu itu tengah mendekam dalam tahanan di markas Kido Bitai di Jatingaleh. Namun Mr. Wongsonegoro tidak dapat menjamin akan dapat merealisir tuntutan mereka berupa menyelamatkan relawan dan pengembalian senjata-senjata milik Jepang yang berhasil direbut oleh pemuda Indonesia.
Pada hari itu juga 17 Oktober 1945 Mr. Wongsonegoro kemudian mengeluarkan sebuah maklumat. Sekalipun telah ada maklumat tersebut, semenjak siang hari hinga malam hari, pertempuran masih terus berlangsung. Bahkan bertentangan dengan hasratnya untuk mengadakan gencatan senjata dan mengakhiri pertempuran. Pada hari itu pasukan-pasukan Jepang justru telah memperhebat serangan-serangannya seakan-akan Maklumat dari Gubernur Jawa Tengah tersebut tidak pernah ada.
Pada hari itu, Jepang telah mengeluarkan perintah pada pasukan-pasukannya untuk tetap meneruskan pembersihan di dalam kota Semarang dan menugaskan pasukan-pasukannya untuk mengadakan pembersihan di daerah Poncol dan pelabuhan. Sedangkan pasukan Yamada ditugaskan untuk membersihkan wilayah Gombel dan Srondol.[9]

E.     Misi Mr. Wongsonegoro
Sebagai tindak lanjut dari perundingan mengenai gencatan senjata yang telah dilakukan dengan pihak Jepang pada tanggal 17 Oktober , Mr. Wongsonegoro dan Dr Soekarjo pada hari itu juga pergi ke Ungaran dengan maksud menghubungi tentara Indonesia yang sangat kuat dan menyelidiki keadaan orang-orang Jepang yang ada di daerah itu. Mr. Wongsonegoro juga mengutus wakilnya yaitu Ir. Abdul Muntalib ke daerah kendal.
Para pemuda pejuang di Ungaran, ketika mendengar genjatan senjata, mula-mula mereka marah. Mereka mengajukan pertanyaan mengenai siapa yang sebenarnya menghentikan pertempuran itu. Mr. Wongsonegoro dengan terus terang menjawab bahwa yang menghentikan ialah ia sendiri. Belum puas sampai di situ, mereka juga menanyakan juga mengenai seiapa yang sebenarnya telah meminta penghentian pertempuran itu. Mr. Wongsonegoro juga menjawab, bahwa yang meminta adalah Jepang. Selanjutnya mereka juga bertanya syarat-syaratnya dan Mr. Wongsonegoro dengan terus terang pula mengatakan bahwa syarat-syaratnya akan dibicarakan pada kari beikutnya.
Pada hari Kamis tanggal 18 Oktober 1945, pihak Jepang berhasil mematahkan pertahanan para pemuda di sektor Jatingaleh dan Gombel yang dilakukan oleh pasukan Yamada. Untunglah pada saat yang benar-benar kritis, Allah telah menguurkan tangan-tangan-Nya. Keesokan harinya, tepat pada tanggal 19 Oktober 1945 jam 07.45 pagi, di pelabuhan Semarang telah berlabuh sebuah kapal besar “HMS Glenroy” yang mengangkut tentara sekutu yakni pasukan dari Inggris. Karena kedatangan mereka, kota Semarang telah terlepas dari bahaya maut yaitu di bom oleh Jepang.

F.       Konperensi Hotel Du Pavilion
Sehari setelah tentara Sekutu mendarat di Semarang, di Hotel Du Pavilion diadakan konperensi antara wakil-wakil Pemerintah RI, pihak tentara Jepang dan pihak tentara Sekutu.  Konperensi yang diadakan di Hotel Du Pavilion berlangsung secara kilat tanpa protokol apa-apa. Perintah ‘cease fire” dari tentara Sekutu harus segera dilaksanakan.
Untuk itu dibentuk suatu iring-iringan kendaraan yang bertugas sebagai konvoi perdamaian. Konvoi perdamaian itu segera memulai tugas sucinya dengan menelusuri jalan-jalan di kota Semarang sampai ke bagian yang sepi-sepi. Sekalipun tugasnya belum selesai, mereka memutuskan untuk kembali kepusat konvoi perdamaian di Hotel Du Pavilion.

Kronologis Singkatnya

a.       7 Oktober 1945: pemuda Semarang berusaha melucuti senjata Tentara Jepang di Jatingaleh. Sementara di saat yang sama, pimpinan Jepang dan pemuda berunding mengenai penyerahan senjata.

b.      13 Oktober 1945: suasana semakin menegang dan Jepang semakin terdesak.

c.     14 Oktober 1945: Mayor Kido menolak penyerahan senjata. Pukul 06.30, Aula RS Purusara dijadikan markas perjuangan dan pemuda mencegat serta memeriksa mobil Jepang yang lewat. Mereka juga menyita sedan milik Kampetai. Sore harinya, pemuda menjebloskan Tentara Jepang ke Penjara Bulu namun pukul 18.00 Jepang melancarkan serangan mendadak kepada delapan polisi istimewa yang menjaga Resevoir Siranda di Candi. Kedelapan Polisi itu disiksa dan sore itu juga tersiatr kabar kalau Jepang menebar racun dalam reservoir tersebut. Selepas Maghrib, dr. Kariadi memutuskan untuk segera memeriksa reservoir itu namun istrinya, drg. Sonarti, mencoba mencegahnya karena ia berpendapat bahwa suasana sedang sangat berbahaya namun tidak berhasil. Sayangnya, dalam perjalanan dr. Kariadi dan beberapa tentara pelajar, mereka ditembak secara keji. Dr. kariadi sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan. Selain kejadian di atas, pada hari itu juga terjadi pemberontakan 4.000 tentara Jepang di Cepiring.

d.      15 Oktober 1945: pukul 03.00, Mayor Kido menyuruh 1.000 tentara untuk melakukan penyerangan ke pusat kota mendengar berita penangjkapann Jenderal Nakamura dan berita gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga Semarang. Di Semarang juga terjadi penangkapan Mr. Wongsonegoro, Dr. Sukaryo, dan Sudanco Mirza Sidharta.

e.        16 Oktober 1945 : pertempuran terus berlanjut

f.       17 Oktober 1945: Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro

g.      18 Oktober 1945: Ada perundingan gencatan senjata oleh KAsman Singodimejo dan Jenderal Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang direbut segera dikembalikan bila tidak Jepang akan meloakukan pengeboman pada tanggal 19 oktober 1945 pukul 10.00.

h.      19 Oktober 1945: Pukul 07.45, kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan kapal HMS Glenry mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat sehingga perang berakhir.

i.        20 Oktober 1945: Sehari setelah tentara Sekutu mendarat di Semarang, di Hotel Du Pavilion diadakan konperensi antara wakil-wakil Pemerintah RI, pihak tentara Jepang dan pihak tentara Sekutu.

Peringatan
Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang.

2 comments:

  1. Pengorbanan dr Kariadi menjadikannya gugur sebagai kusuma bangsa yang berkorban bagi kemerdekaan Indonesia

    ReplyDelete